Jumat, 29 Desember 2017

Khilafiyyah Dalam Ilmu Qalam



  
MAKALAH ILMU KALAM
DI SUSUN
OLEH
RIDHA ZUHAIMI
DAN
ZULKARNAINI USMAN
PEMBIMBING
USTADZ NAZARUDDIN MA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB





SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)
SYAMSYUDDUHA – ACEH UTARA

                                         
                                                                 

DAFTAR ISI

KATAPENGANTAR....……….……………………………………………………………… i
BAB I………………......…………………………………………………………....................1
BAB II...........………......…………………………………………………………………........2
BAB III............………....…………………………………………………………………….13
DAFTAR PUSTAKA…....…………………………………………………………………...14























KATA PENGANTAR
Dengan nama ALLAH yang maha pengasih lagi maha penyayang,penulis mengucapkan puji syukur atas kehadirat ALLAH SWT. Karena atas rahmat,hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. begitu shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada nabi Muhammad saw beserta para sahabat,keluarga dan para pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Dalam penyusunan makalah yang berjudul ‘Khilafiyyah’ ini, penulis sedikit mengalami kesulitan dan rintangan namun berkat bantuan yang di berikan dari berbagai pihak,sehingga kesulitan-kesulitan tersebut biasa teratasi dengan baik. dengan demikian  penulis lewat lembaran ini ingin mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada mereka, teriring doa agar segenap bantuannya dalam urusan penyelesain makalah ini, sehingga bernilai ibadah disisi  ALLAH SWT.
Akhirnya penyusun menyadari bahwa makalah ini bukanlahsebuah proses akhir dari segalanya, melainkan langkah awal yang masih memerlukan banyak koreksi, oleh karena itu kritik dan sran sangat diharapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya, Amin.



                                                                                                                                                                                                                                                pemakalah
                                                                                               






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sesungguhnya tidak akan terjadi perdebatan, tanpa adanya perbedaan pendapat terhadap suatu soal. Sebagian ahli sejarah berpendapat, bahwa perbedaan pendapat itu terjadi disaat manusia memikirkan keadaan dan kebesaran alam. Perhatian manusia tertarik untuk mengetahui hakikat alam.
Sebagian ahli mengatakan, bahwa manusia itu sejak adanya, telah menyelidiki alam secara falsafah. Gambaran-gambaran pikiran serta hayalan-hayalan yang didapatnya berbeda-beda, menurut perbedaan penyelidikan atau kekuatan pikirannya. Juga perbedaan titik-titik perhatian, dan hal-hal yang menggerakan hatinya untuk menyelidiki itu.
Begitu juga perdebatan yang terjadi di antara ulama kalam, semuanya tidak lepas dari hal ini. Harun nasution dalam bukunya Teologi Islam mengatakan bahwa, sejarah timbulnya persoalan-persoalan teologi dalam Islam, awalnya adalah persoalan politik yang akhirnya merambat kepada persoalan-persoalan teologi (ilmu kalam). Yang kemudian melahirkan persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir1 dan persoalan-persoalan ilmu kalam lainnya. Hal-hal tersebutlah yang mempelopori khilafiyah diantara mereka.
Dalam makalah ini akan dituturkan beberapa persoalan yang diperselisihkan ulama kalam beserta pendapat-pendapat mereka.
B.     Rumusan Masalah
1.       Tentang Khilafiyyah
2.      Tentang Keqadiman Allah Swt
3.      Tentang sifat-sifat Allah Swt

C.     Tujuan dan Manfaat Penulisan
Untuk memenuhi tugas kuliyah Ilmu Kalam dan agar kita lebih mengetahui banyaknya perbedaan pendapat di antara ulama, Semoga dengan mengetahui banyaknya perbedaan ini dapat menambah ketaqwaan kita kepada Allah Swt, dan mepelajari setiap permasalahan khususnya ‘Itiqad dalam umat islam.
Harun Nasution, Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah, analisa dan perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia/UI-Press), h. 8

1

BAB II
PEMBAHASAN

1.  Pengertian Khilafiyah dan Pembagiannya.
             Khilafiyah dalam pandangan ilmu sharaf  merupakan lafadz Masdar yang berasal dari kata   خالف يخالف مخالفة خلاف, secara bahasa Khilafiyah adalah perbedaan, atau saling membedakan dalam sebuah paham (pendapat). Khilafiyah menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua orang atau beberapa orang terhadap suatu objek (masalah) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk “tidak sama” ataupun “bertenntangan. Jadi yang dimaksud khilafiyah adalah tidak samanya atau bertentangannya penilainan (ketentuan) hukum terhadap suatu objek hukum.Secara umum khilaf tidaklah terlarang secara mutlak karena ada khilaf yang diperbolehkan. sehingga sangat wajar bila dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan terdapat perbedaan pendapat atau pandangan.
Para Ulama membagi khilaf kepada dua bagian yang pokok2 :
1.خلاف التنوع    
            Khilaf Tanawwu’ adalah adanya perbedaan yang tidak saling menafikan satu sama lain karena adanya dalil bagi masing-masing perbedaan tersebut didalam syari’at. Seperti beberapa amalan atau ucapan yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada para sahabatnya yang berbeda-beda bentuk dan lafadznya akan tetapi kedu-duanya ada dalil pensyari’atannya. Contohnya tatcara shalat malamnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang beragam atau lafadz do’a istiftah didalam shalat.
2. خلاف التضاد
 Khilah Tadhaddud adalah adanya perbedaan pendapat diantara para ‘Ulama tentang suatu masalah kepada dua pendapat yang saling bertentangan, yang mana perbedaan tersebut harus dikembalikan kepada satu pendapat yang dipilih.
2. http//abughozie-assundawie.blogspot.co.id, di akses pada tanggal 29 oktober 2017

2
            Dari dua pembagian Khilafiyyah di atas dapat kita fahami bahwa pebedaan pendapat para ‘Ulama sangatlah wajar, karena pada dasarnya Khilafiyyah ini terjadi karena level atau kapasitas mereka masing-masing dalam memahami dan menyelesaikan permasalahan. Namun demikian ‘Ulama di masa lampau tidak menjadikan pebedaan pendapat ini menjadi penghalang bagi mereka untuk bersilaturrahmi antar sesama, oleh karena itu Khilafiyyah tersebut tidak berdampak pada salah-menyalahkan atau pertikain. Praktek ini sangat berbeda dengan yang kita lihat sekarang, dimana masih banyak di antara kita yang masih saja menyalahkan antara sesama dalam sebuah permasahan.

2. Perbedaan Pendapat Tentang Sifat-sifat Allah Swt.
      Khilafiyyah juga terjadi di antara para ‘Ulama Kalam, perbedaan tersebut terjadi di berbagai permasalahan, namun disini penilis hanya akan membahas Khilafiyyah tentang sifar-sifat Allah Swt, berikut adalah beberapa pendapat tentang sifat-sifat Allah Swt:         
a. Mu’tazilah
             Menurut Mu’tazilah Tuhan itu Esa, tidak mempunyai sifat-sifat sebagaimana pendapat golongan lain. Apa yang dipandang sifat dalam pendapatgolongan, bagi Mu’tazillah tidak lain adalah Zat Allah sendiri.
            Untuk menyucikan keesaan Tuhan, golongan Mu’tazillah menafi’kan sifat-sifat bagi Tuhan. Dengan cara demikian, golongan Mu’tazilah mengklaim dirinya sebagai golongan Ahlut tauhid Wal ‘Adil. Allah itu benar-benar Esa tanpa ditambah apa-apa.Kaum mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang Tuhan, sebagaimana dijelaskan oleh al-asy’ari, bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa,dan sebagainya, tetapi mengetahui, berkuasa, dan sebagainya tersebut bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah tuhan itu sendiri.3
3. Abul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006) Hal 168

3

Pandangan tokoh-tokoh mu’tazilah tentang sifat-sifat Tuhan :
1) An –Nazhzham menafikan pengetahuan, kekuasaan, pendengaran,melihat dan qadim dengan dirinya sendiri, bukan dengan kekuasaan,perkehidupan, penglihatan dan keqadiman. Demikian pula dengan sifat-sifat Allah yang lain.
An –Nazhzham mengatakan bahwa jika ditetapkan bahwa Allah itu adalah dzat yang tahu, berkuasa, hidup, mendengar, melihat, dan qadim yang ditetapkan sebenarnya adalah dzat-Nya (bukan sifat-Nya).
2) Menurut Abu al-Huzail esensi pengetahuan Allah adalah Allah sendiri. Demikian pula kekuasaan, pendengaran, penglihatan, dan kebijaksanaan, dan sifat-sifat yang lain. Ia berkata aku nyatakan Allah “bersifat” tahu, artinya aku nyatakan bahwa pada-Nya terdapat pengetahuan dan pengetahuan itu adalah dzat-Nya.
Arti “Tuhan mengetahui dengan esensinya” kata al-Jubba’i, ialah untuk mengetahui, Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Sebaliknya Abu hasyim berpendapat bahwa arti “Tuhan mengetahui melalui esensinya”, ialah Tuhan mempunyai keadaan mengetahui4.
b. Asy’ariyah
Kaum Ay’ariyahberlawanan dengan Mu’tazilah di atas. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut al-Asy’ari sendiri tidak dapat di ingkari bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatanya, disamping menyatakan Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa, dan sebagainya juga menyatakan bahwa Tuhan mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
Dan menurut al- Baghdadi, terdapat konsesus di kalangan kaum asy’ariah bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan dan sabda Tuhan adalah kekal. Sifat –sifat ini kata al- ghazali, tidaklah sama dengan, malahan lain dari, esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri. Uraian –uraian ini juga membawa paham banyak yang kekal, dan untuk mengatasinya kaum Asy’ariah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula lain dari Tuhan. Asy’ari mendasarkan pendapatnya kepada apa yang dilihatnya pada manusia dan sifatnya. Atau dengan sebutan lain, Asy’ariyah mengharuskan berlakunya soal-soal kemanusiaan pada Tuhan, atau mengharuskan berlakunya hukum yang berlaku pada alam lahir dan alam ghaib. Sifat-sifat zat Tuhan semuanya azali, oleh karenanya tidak mungkin iradah-Nya baru (hadis) seperti yang dikatakan Muktazilah.
4. Ibid hal 170

4

Asy’ari mendasarkan pendapatnya kepada apa yang dilihatnya pada manusia dan sifatnya. Atau dengan sebutan lain, Asy’ariyah mengharuskan berlakunya soal-soal kemanusiaan pada Tuhan, atau mengharuskan berlakunya hukum yang berlaku pada alam lahir dan alam ghaib. Sifat-sifat zat Tuhan semuanya azali, oleh karenanya tidak mungkin iradah-Nya baru (hadis) seperti yang dikatakan Muktazilah. Golongan Asy’ariyah mempersamakan Tuhan dengan manusia dalam soal sifat dikarenakan menurut mereka sifat-sifat Tuhan bukanlah zat-Nya, bukan pula lain dari zat-nya.
Jika diamati lebih cermat, kontradiksi pernyataan di atas nampak jelas sekali. “bukan zat-Nya” berarti sifat-sifat itu bukan zat-Nya, akan tetapi “bukan lain dari zat-Nya” berarti sifat-sifat itu menjadi satu dengan zat-Nya (hakikat zat). Dari pendapat asy’ariyah yang demikian ini terlihat seolah-olah mereka menerima pandangan Muktazilah, tetapi sebenarnya tidak demikian, golongan Asy’ariyah tetap menolak pandangan Muktazilah, sebab mereka memiliki penafsiran terhadap perkataan “bukan lain zat” dengan mengatakan bahwa sifat-sifat itu tidak bisa lepas dari zat-Nya.5
c. Maturidiyah
            Tampaknya paham al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati paham Mu’tzilah, perbedannya al-Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat tuhan.
Aliran ini mengatakan bahwa pembicaraan tentang sifat harus didasarkan atas pengakuan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman azaly, tanpa pemisahan antara sifat-sifat zat, seperti qadrat dan sifat-sifat yang berhubungan dengan Af’al seperti menciptakan, menghidupkan dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut menurut golongan maturidiyah tidak boleh diperbincangkan apakah hakikat zat atau bukan. Sementara itu Kaum Maturidiyah golongan bukhara, karena juga mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifa-sifat. Persoalan banyak yang kekal, mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga dengan mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama sifat-Nya kekal.

5. M.Akmal, Tauhid Ilmu Kalam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000) Hal 146


5
Sedangkan kaum Maturidiyah golongan Samarkand dalam hal ini kelihatanya tidak sepaham dengan Mu’tazilah karena al- Matuiridi mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan tetapi pula tidak lain dari Tuhan.6
Aliran Maturidiyah mengatakan bahwa pembicaraan tentang sifat harus didasarkan atas pengakuan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman azaly, tanpa pemisahan antara sifat-sifat zat, seperti qadrat dan sifat-sifat yang berhubungan dengan Af’al seperti menciptakan, menghidupkan dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut menurut golongan Maturidiyah tidak boleh diperbincangkan apakah hakikat zat atau bukan. Akan tetapi di kemudian hari, aliran ini membelok ke Asy’ariyah dengan mengatakan bahwa apa yang dimaksud dengan perkataan “tidak berbeda dari zat” ialah bahwa sifat-sifat itu tetap ada pada zat dan tidak bisa lepas dari padanya. Tetapi dari pandangannya ini sebenarnya masih menyisakan persoalan, yaitu jika sifat-sifat itu bukan hakikat zat, tidak pula berbeda dengan zat, lalu apa sebenarnya sifat-sifat itu? Menanggapi pertanyaan ini golongan maturidiyah menjawab bahwa “sifat-sifat itu sifat Tuhan, tidak lebih dari itu”.
Melihat jawaban yang demikian sebenarnya Maturidiyah belum bisa menyelesaikan kontradiksi yang sedang berlangsung. Mereka justru membelok kepada golongan para filosof dan Muktazilah, dengan mengatakan bahwa tidak dapat dipersamakan antara Tuhan dengan manusia dan sifat Tuhan adalah hakikat zat-Nya. Selain itu mereka juga bisa membelok ke aliran salaf dengan pengakuan bahwa madzhab itu lebih selamat, dikarenakan pembahasan sifat Tuhan akan menyeret kita kepada bid’ah, seperti yang dilakukan oleh kalangan Muktazilah dan Asy’ariyah. Kendati demikian, sikap Maturidiyah terhadap Muktazilah lebih lunak. Penetapan sifat-sifat untuk Tuhan, baginya tidak berarti tasybih (menyerupakan) antara Tuhan dengan manusia, dan mereka (Muktazilah) yang mengingkari sifat-sifat dengan alasan karena mensucikan Tuhan tidak perlu disebut dan dituduh Muktazilah, dan tidak pula kafir, meskipun pengingkaran sifat lebih berbahaya dari pada menetapkannya, sebab bisa menjadikan Tuhan sebagai suatu gambaran fikiran yang kosong. Dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan menurut Maturidy, harus menggunakan cara tasybih dan tanzil bersama-sama. Sifat-sifat Tuhan itu qadim dan tidak bisa diterangkan kecuali menggunakan kata-kata yang biasa dipakai untuk lingkungan manusia, yang berarti mempersamakan (tasybih).
6. Ibid, Hal. 149

6
Akan tetapi dalam pada itu harus dipakai jalan tanzil untuk meniadakan setiap persamaan antara sifat Tuhan dengan sifat manusia. Karena itu tidak perlu ditanyakan, bagaimana sifat ilmu dan qodrat Tuhan itu, sebab pertanyaan ini masih memaksakan adanya persamaan. Prinsip inilah yang menjadi pegangan Ibn Rusyd.7
d. Syiah Rafidhah
Sebagian besar tokoh Syiah Rafidhah menolak bahwa Allah senantiasa bersifat tahu, mereka menilai bahwa pengetahuan itu bersifat baru, tidak qadim, sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa Allah tidak tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculannya.
Makna Allah berkehendak menurut mereka adalah bahwa Allah mengeluarkan gerakan, ketika gerakan itu muncul, ia bersifat tahu terhadap sesuatu itu, mereka berpendapat pula bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap sesuatu yang tidak ada.
Mayoritas tokoh Rafidhah menyifati tuhannya dengan bada (perubahan) mereka beranggapan bahwa tuhan mengalami banyak perubahan, sebagian merekamengatakan bahwa Allah terkadang memerintahkan sesuatu lalu mengubahnya. Terkadang pula ia menghendaki melakukan sesuatu lalu mengurungkannya karena ada perubahan pada diri-Nya, perubahan itu bukan arti nasak tetapi dalam arti bahwa pada waktu yang pertama ia tidak tahu apa yang bakal terjadi pada waktu yang kedua.8
e. Musyabihah (Karramiyah)
Kaum Musyabbihah artinya kaum yang menyerupakan. Kaum Musyabbihah digelari kaum Musybih (menyerupakan) karena mereka menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Mereka mengatakan bahwa tuhan adalah bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti manusia.
Kalau sekiranya kaum muslimin memegangi teguh prinsip tidak adanya persamaan antara Tuhan dengan makhluknya, tentulah tidak timbul persoalan sifat dan tidak timbul segolongan muslimin yang memegangi lahir nash-nash ayat atau hadist mutasyabihat, seperti golongan musyabbihah atau Karramiyah. Dengan demikian mereka mirip golongan agama-agama lain yang mempercayai Tuhan bertubuh dan nampak dalam bentuk manusia.
7. http://www.referensimakalah.com/2012/12/perbedaan -aliran-mengenai-sifat-tuhan.html(diakses pada tanggal  29 oktober 2017)
8.Abul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam(Bandung : CV Pustaka Setia, 2006) Hal 179

7
Aliran kepercayaan ini sering disebut dengan aliran antropomorfisme, yakni kepercayaan bahwa Tuhan bisa mewujud sebagaimana manusia. Aliran ini, dalam merumuskan pemahamannya hanya menafsirkan ayat-ayat mengenai Zat, Sifat-Sifat Allah dan perbuatan-Nya hanya berdasarkan makna harfiyahnya saja, sehingga pemahamannya mempercayai bahwa Allah memiliki jisim, sebagaimana yang pernah diulas pada pembahasan di atas. Tetapi aliran musyabihah yang memegangi lahiriyah ayat-ayat tersebut merupakan golongan kecil dalam Islam. Hal ini karena memang pada awalnya kaum muslimin memiliki pemahaman teologi yang antropomorfis.
Dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menurut lahirnya berisi persamaan Tuhan dengan makhluk yang menjadi dasar kepercayaan golongan tersebut, seperti ayat-ayatyang mengatakanbahwa Tuhan berada dalam suatu arah tertentu, yaitu di atas, di langit, diArsy, bahkan berpindah-pindah. Ayat-ayat tersebut adalah :
أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
Artinya “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang (Q.S Al-Mulk:16)
وَهُوَ اللّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الأَرْضِ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهرَكُمْ وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ
Artinya “Dan dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.”( Q.S Al-An’am:3)
وَعُرِضُوا عَلَى رَبِّكَ صَفّاً لَّقَدْ جِئْتُمُونَا كَمَا خَلَقْنَاكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ بَلْ زَعَمْتُمْ أَلَّن
نَّجْعَلَ لَكُم مَّوْعِداً
Artinya “Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang kepada kami, sebagaimana kami menciptakan kamu pada kali yang pertama; bahkan kamu mengatakan bahwa kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kamu waktu (memenuhi) perjanjian.”(Q.S Al-Kahfi:48)
Demikian pula hadist Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah, berbunyi sebagai berikut :“Tuhan kita kita turun kelangit dunia setiap malam, pada waktu sepertiga malam terakhir. Ia berfirman, siapa yang berdoa padaKUakan saya kabulkan. Siapa yang minta ampun, saya ampuni.”
Selain Q.S Al- Baqarah, semua ayat-ayat tersebut adalah Makkiah. Tujuan utama surat-surat tersebut ialah menetapkan asaa-asas kepercayaan agama baru, yaitu Islam, sesudah menunjukkan salahnya kepercayaan-kepercayaan orang musyrik.
8
Bagaimanapun juga golongan Musyabbihah yang memegangi lahirnya ayat-ayat merupakan segolongan kecil. Leon Ghautier mengatakan bahwa semua kaum muslimin pada permulaan Islam berpaham anthropomorphist. Pendapat tersebut tidak benar, sebab sebagian besar dari mereka terkenal dengan sebutan nama Salaf dan orang-orang sesudah mereka tetap memegangi prinsip tidak adanya persamaan antara Tuhan dengan makhluk.9

3. Perbedaan Pendapat Tentang Keqadiman Allah Swt.
            Bagi kaum teolog Muslim, qadim berarti “sesuatu yang mempunyai wujud tanpa sebab”, sedangkan bagi kaum filosof Muslim, qadim berarti “sesuatu yang kejadiannya dalam keadaan terus menerus tanpa awal dan tanpa akhir”.
Bagi kaum teolog Muslim, hadits mengandung arti “menciptakan dari tiada”, sedangkan bagi kaum filosof Muslim kata itu berarti “mewujudkan dari ada menjadi ada dalam bentuk lain”.10
            Dalam menisbatkan Allah Swt Qadim, seluruh aliran dalam ilmu kalam sepakat akan hal demikian. Namun ada beberapa indikasi pendapat dalam hal keqadiman Allah Swt berkaitan dengan sifat Qalam-Nya (berbicara Allah Swt) berikut beberapa pendapat tersebut:
1.Mazhab Hanbali
Pengikut Ahmad bin Hanbal memandang bahwa kalam Ilahi itu berasal dari suara dan huruf yang ada dalam zat Allah Swt dan termasuk qadim. Sampai-sampai sebagian dari mereka meyakini secara ekstirm bahwa jilid dan pembungkus kitab al-Quran itu pun termasuk qadim.
"Pertama bahwa zat Allah itu qadim, dan kedua adalah bahwa kalam itu sebagai sifat Allah, sifat bagi zat yang qadim harus juga qadim karena apabila sifat bagi zat qadim itu adalah hadis (baru-tercipta) maka akan menyebabkan perubahan pada zat qadim tersebut dan perubahan pada zat Allah adalah mustahil. Oleh karena itu, kalam Ilahi yang merupakan sifat Allah adalah qadim."

9. SirajuddinAbbas, ‘Itiqad Ahlusunnah Waljama’ah (Bandung : CV Pustaka Setia, 2002) Hal 253
10. Sirajuddin Zar, FILSAFAT ISLAM Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,2010), hlm.227-228

9

Qadhi 'Adhiduddin mengatakan secara jelas bahwa akidah Hanbali mengenai hal itu adalah batil. Beliau menulis sebagai berikut, "kalam adalah sebuah eksistensi gradual yang antara satu huruf dengan huruf yang lain tercipta saling kebergantungan dan hal itu berarti hadis, kalam yang tersusun dari peristiwa tersebut maka pasti juga bersifat baru. Kalam adalah sebuah eksistensi yang berawal dan berakhir, oleh karena itu ia bersifat baru."
2.Aliran Karamiyah
Aliran Karamiyah meyakini bahwa kalam Ilahi terdiri dari suara dan huruf-huruf, dan kalam Ilahi itu bersifat hadis dan menyatu dengan zat Allah Swt, dan mereka mengatakan bahwa tidak ada masalah menggandengkan sifat hadis pada yang zat yang qadim.
Allamah Hilli mengomentari pendapat Karamiyah sebagai berikut, "Wajib al-Wujud (Allah Swt) tidak menerima sifat yang hadis (yang baru) dengan tiga dalil: pertama, ke-hadis-an dan ke-baru-an pada zat Allah menyebabkan perubahan yang bersifat reaktif dalam diri-Nya dimana hal ini sangat berkontradiksi dengan zat Wajib al-Wujud, karena setiap perubahan itu merupakan sifat bagi benda-materi dan Allah bukanlah materi dan benda. Kedua, jika Allah Swt dipandang sebagai sebab dari sifat yang hadis ini, maka sifat yang hadis itu pun harus azali, karena sebabnya adalah azali, sementara anda mengatakan bahwa hadis tersebut adalah sesuatu yang baru terwujud (yakni pernah tiada dan sekarang menjadi ada), dan jika zat sebab itu bukan zat Wajib al-Wujud maka kemestiannya adalah dia memiliki sifat hadis dan membutuhkan kepada sesuatu yang lain, dan hal ini juga tidak layak bagi Wajib al-Wujud. Ketiga, hadis itu jika termasuk sifat kamaliyah (sifat kesempurnaan) maka mustahil sifat tersebut tidak termasuk dalam jajaran sifat-sifat Tuhan, karena Tuhan niscaya memiliki seluruh sifat kesempurnaan dan apabila hadis itu merupakan sifat cacat dan kekurangan maka mustahil Tuhan memiliki sifat tersebut.
3.Akidah Asy’ariah
            Kaum Asy’ariah meyakini bahwa kalam itu adalah qadim dan menyatu dengan zat Allah. Abu al-Hasan al-Asy'ary berkata, "Allah berbicara dengan kalam, dan kalam-Nya itu bersifat qadim, karena raja memiliki kekuasaan pada rakyat, dan penguasa senantiasa memerintah dan melarang rakyatnya, maka dia adalah penguasa. Penguasa apakah memerintahkan sesuatu yang qadim atau memerintahakan sesuatu yang hadis. Jika hadis maka apakah dia akan menyatu dan eksis pada zat Allah itu sendiri? Hadis
10
mustahil menyatu dan eksis pada zat Allah karena akan menyebabkan zat Allah sebagai wadah bagi hadirnya sesuatu yang baru. Dan hal ini pasti mustahil. Demikian pula, mustahil kalam itu menyatu dan eksis pada wadah yang lain, karena akan menyebabkan wadah tersebut memiliki sifat kalam dan akan disebut sebagai mutakkalim. Demikian pula, mustahil eksis pada wadah selain zat Allah, oleh karena itu kalam Allah itu bersifat qadim dan eksis pada zat Allah serta menjadi sifat Allah."
Oleh karena itu, dalam akidah Asy’ariah kalam itu akan terwujud secara berangsur-angsur dan hadis dalam bentuk ibarat dan lafaz. Ibarat dan lafaz itu tidak menyatu dengan zat Allah dan tidak bisa dikatakan hakikat kalam Allah, tetapi mereka meyakini bahwa kalam hakiki Allah adalah makna dari kata-kata yang dilafazkan yang bersifat qadim dan menyatu serta eksis pada zat Allah Swt.
4. Akidah Imamiah dan Muktazilah
            Imamiah dan Muktazilah setelah menggugurkan pandangan Asy'ariah, berpendapat bahwa kalam Ilahi itu adalah hadis dan mereka mengatakan sebagai berikut: "Kalam Ilahi seperti kalam manusia yang terdiri dari huruf dan suara yang mengindikasikan sebuah makna khusus. Perbedaannya adalah manusia ketika hendak mengungkapkan kalam membutuhkan lidah dan mulut serta tempat keluarnya huruf-huruf, sementara Allah tidak membutuhkan hal tersebut. Oleh karena itu, kalam memiliki eksistensi gradual dan sistematik yang berarti hadis. Kalam itu terdapat di tempat lain, tetapi bukan pada zat Allah. Yang dimaksud dengan Allah sebagai Sang Mutakallim adalah tercipta dan terlahir kalam darinya, bukan bermakna bahwa kalam itu menyatu dan eksis pada dirinya, hal ini berbeda dengan suatu sifat seperti mengetahui, kodrat, atau warna hitam dan putih dimana menyatu dengan zatnya".
Dikatakan, "Allah menciptakan dan mengadakan suara dan huruf yang memiliki makna dan kemudian hadir dalam bentuk berita, perintah, larangan, atau pertanyaan. Oleh karena itu, kalam Ilahi adalah salah satu dari perbuatan Allah dan hadis, seperti mencipta, memberi rezki, menghidupkan dan mematikan."
Sebagaimana telah ketahui bahwa Muktazilah dan Imamiah meyakini bahwa kalam Ilahi itu adalah suara dan huruf-huruf yang memiliki makna yang Allah ciptakan pada suatu tempat, dan dengan perantaraan inilah Allah menyampaikan maksud dan tujuan-Nya. Kalam Ilahi memiliki eksistensi gradual dan hadis dalam rentangan zaman dan waktu, dan maksud dari Allah sebagai Mutakallim adalah Allah menciptakan suara dan huruf-huruf. Sumber dan asal kalam Allah adalah sifat kodrat dan iradah-Nya yang tanpa membutuhkan lidah dan mulut.
11

5.Pandangan Mu'ammar bin Ubbad dan Sebagian Ilmuwan Kristen.
            Al-Quran adalah sesuatu yang aksidental, dan mustahil Allah menciptakan dan menurunkan al-Quran. Karena menurut mereka, mustahil sesuatu yang aksidental itu terlahir dari perbuatan Allah. Mereka mengatakan bahwa al-Quran adalah terwujud dari suatu tempat yang memancarkan kalam itu.
Dalam catatan Rawandi dan Khayaat tertulis: "Mu’ammar meyakini bahwa al-Quran bukan hasil perbuatan Allah, dan bukan sifat Tuhan, akan tetapi suatu kejadian yang hadir secara alamiah dan natural.
Pandangan tersebut juga diyakini oleh sebagian ilmuwan kristen sebagaimana dikutip, "Dalam naskah tercatat bahwa wahyu asli adalah Masehi itu sendiri, kalimat Allah dalam bentuk manusia, kitab suci hanyalah kitab tulisan tangan manusia yang menjadi saksi atas hakikat wahyu tersebut. Perbuatan Allah dalam eksistensi masehi dan kitab suci hadir dengan perantaraan masehi, dan kitab suci itu tidak hadir dengan cara pendiktean langsung dari Allah."
Kesimpulan dari kajian di atas adalah al-Quran dan seluruh kitab suci samawi bukan ciptaan Tuhan, akan tetapi hasil perbuatan para nabi dimana Allah menciptakan wujud mereka dalam kondisi yang istimewa sedemikian sehingga mampu menyampaikan tujuan, iradah, maksud dan penjelasan Allah Swt.11












11.  Dikutip dari www.alhassanain.com  Diakses pada tanggal 29 Oktober 2017


12

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
·         Perbedaan pendapat bukanlah pengahalang bagi kita untuk saling menghargai antar sesama, bahkan bagi kita sangat dianjurkan untuk selalu menghormati, menyayangi sesama, tapi sangat disayangkan, masih banyak di antara kita yang masih saja saling salah-menyalahkan, mencaci, dan hal-hal yang lainnya.
·         Proses seorang manusia untuk menuju ke gerbang rahmat Allah Swt adalah dengan mempelajari dan mengetahui apa yang layak umtuk dinisbatkan kepada-Nya dan hal-hal yang tidak pantas untuk di sandarkan kepada-Nya. Dimana bila sesorang manusia menempuh jalan itu dengan batasan ynag telah ditentukan  oleh Allah Swt, maka Insyaallah, manusia tersebut akan mendapat tempat yang mulia disisi Allah Swt.

B. Saran dan Kritik
·         Kepada seluruh Mahasiswa, kami harapkan untuk memberika komentarnya dalam penulisan dan pembahasan dalam makalah ini.
·         Dan kami dari pihak penulis berharap agar Dosen kami yang terhormat untuk memberikan arahan, dan bimbingannya agar menjadi ilmu tambahan bagi kami tersendiri.









13

DAFTAR PUSTAKA

·         Nasution, Harun. 2010. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
·         Susanto. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara
·         Zar, Sirajuddin. 2010. FILSAFAT ISLAM Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: RajaGrafindo Persada
·         www.alhassanain.com
·         http://.syiahali.com























14

Khilafiyyah Dalam Ilmu Qalam

   MAKALAH ILMU KALAM DI SUSUN OLEH RIDHA ZUHAIMI DAN ZULKARNAINI USMAN...