MAKALAH ILMU
KALAM
DI SUSUN
OLEH
RIDHA ZUHAIMI
DAN
ZULKARNAINI USMAN
PEMBIMBING
USTADZ NAZARUDDIN MA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT)
SYAMSYUDDUHA – ACEH UTARA
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR....……….………………………………………………………………
i
BAB I………………......…………………………………………………………....................1
BAB
II...........………......…………………………………………………………………........2
BAB
III............………....…………………………………………………………………….13
DAFTAR PUSTAKA…....…………………………………………………………………...14
KATA PENGANTAR
Dengan nama
ALLAH yang maha pengasih lagi maha penyayang,penulis mengucapkan puji syukur
atas kehadirat ALLAH SWT. Karena atas rahmat,hidayahnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. begitu shalawat serta salam senantiasa tercurahkan
kepada nabi Muhammad saw beserta para sahabat,keluarga dan para pengikutnya
yang setia hingga akhir zaman.
Dalam
penyusunan makalah yang berjudul ‘Khilafiyyah’ ini, penulis sedikit
mengalami kesulitan dan rintangan namun berkat bantuan yang di berikan dari
berbagai pihak,sehingga kesulitan-kesulitan tersebut biasa teratasi dengan
baik. dengan demikian penulis lewat
lembaran ini ingin mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada
mereka, teriring doa agar segenap bantuannya dalam urusan penyelesain makalah
ini, sehingga bernilai ibadah disisi
ALLAH SWT.
Akhirnya
penyusun menyadari bahwa makalah ini bukanlahsebuah proses akhir dari
segalanya, melainkan langkah awal yang masih memerlukan banyak koreksi, oleh
karena itu kritik dan sran sangat diharapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya, Amin.
pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sesungguhnya tidak akan terjadi perdebatan, tanpa adanya
perbedaan pendapat terhadap suatu soal. Sebagian ahli sejarah berpendapat,
bahwa perbedaan pendapat itu terjadi disaat manusia memikirkan keadaan dan
kebesaran alam. Perhatian manusia tertarik untuk mengetahui hakikat alam.
Sebagian ahli mengatakan, bahwa manusia itu sejak adanya,
telah menyelidiki alam secara falsafah. Gambaran-gambaran pikiran serta
hayalan-hayalan yang didapatnya berbeda-beda, menurut perbedaan penyelidikan
atau kekuatan pikirannya. Juga perbedaan titik-titik perhatian, dan hal-hal
yang menggerakan hatinya untuk menyelidiki itu.
Begitu juga perdebatan yang terjadi di antara ulama kalam,
semuanya tidak lepas dari hal ini. Harun nasution dalam bukunya Teologi Islam
mengatakan bahwa, sejarah timbulnya persoalan-persoalan teologi dalam Islam,
awalnya adalah persoalan politik yang akhirnya merambat kepada
persoalan-persoalan teologi (ilmu kalam). Yang kemudian melahirkan persoalan
siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir1 dan persoalan-persoalan
ilmu kalam lainnya. Hal-hal tersebutlah yang mempelopori khilafiyah diantara
mereka.
Dalam makalah ini akan dituturkan beberapa persoalan yang
diperselisihkan ulama kalam beserta pendapat-pendapat mereka.
B.
Rumusan Masalah
1. Tentang Khilafiyyah
2. Tentang Keqadiman Allah Swt
3. Tentang sifat-sifat Allah Swt
C.
Tujuan dan Manfaat Penulisan
Untuk memenuhi tugas kuliyah Ilmu Kalam dan agar kita lebih
mengetahui banyaknya perbedaan pendapat di antara ulama, Semoga dengan
mengetahui banyaknya perbedaan ini dapat menambah ketaqwaan kita kepada Allah
Swt, dan
mepelajari setiap permasalahan khususnya ‘Itiqad dalam umat islam.
Harun
Nasution, Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah, analisa dan perbandingan (Jakarta:
Universitas Indonesia/UI-Press), h. 8
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Khilafiyah
dan Pembagiannya.
Khilafiyah dalam pandangan ilmu sharaf merupakan lafadz Masdar yang
berasal dari kata خالف يخالف مخالفة خلاف, secara bahasa Khilafiyah adalah perbedaan, atau saling membedakan dalam
sebuah paham (pendapat). Khilafiyah menurut istilah
adalah berlainan pendapat antara dua orang atau beberapa orang terhadap suatu
objek (masalah) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk “tidak sama” ataupun
“bertenntangan. Jadi yang
dimaksud khilafiyah adalah tidak samanya atau bertentangannya penilainan
(ketentuan) hukum terhadap suatu objek hukum.Secara umum khilaf tidaklah
terlarang secara mutlak karena ada khilaf yang diperbolehkan. sehingga sangat
wajar bila dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan terdapat perbedaan pendapat
atau pandangan.
Para
Ulama membagi khilaf kepada dua bagian yang pokok2 :
1.خلاف التنوع
Khilaf Tanawwu’ adalah adanya
perbedaan yang tidak saling menafikan satu sama lain karena adanya dalil bagi
masing-masing perbedaan tersebut didalam syari’at. Seperti beberapa amalan atau
ucapan yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kepada para
sahabatnya yang berbeda-beda bentuk dan lafadznya akan tetapi kedu-duanya ada
dalil pensyari’atannya. Contohnya tatcara shalat malamnya Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam yang beragam atau lafadz do’a istiftah didalam shalat.
2. خلاف التضاد
Khilah Tadhaddud adalah adanya
perbedaan pendapat diantara para ‘Ulama tentang suatu masalah kepada dua
pendapat yang saling bertentangan, yang mana perbedaan tersebut harus
dikembalikan kepada satu pendapat yang dipilih.
2
Dari
dua pembagian Khilafiyyah di atas dapat kita fahami bahwa pebedaan
pendapat para ‘Ulama sangatlah wajar, karena pada dasarnya Khilafiyyah ini
terjadi karena level atau kapasitas mereka masing-masing dalam memahami dan
menyelesaikan permasalahan. Namun demikian ‘Ulama di masa lampau tidak
menjadikan pebedaan pendapat ini menjadi penghalang bagi mereka untuk
bersilaturrahmi antar sesama, oleh karena itu Khilafiyyah tersebut tidak
berdampak pada salah-menyalahkan atau pertikain. Praktek ini sangat berbeda
dengan yang kita lihat sekarang, dimana masih banyak di antara kita yang masih
saja menyalahkan antara sesama dalam sebuah permasahan.
2. Perbedaan Pendapat
Tentang Sifat-sifat Allah Swt.
Khilafiyyah juga
terjadi di antara para ‘Ulama Kalam, perbedaan tersebut terjadi di berbagai
permasalahan, namun disini penilis hanya akan membahas Khilafiyyah tentang
sifar-sifat Allah Swt, berikut adalah beberapa pendapat tentang sifat-sifat
Allah Swt:
a. Mu’tazilah
Menurut
Mu’tazilah Tuhan itu
Esa, tidak mempunyai sifat-sifat sebagaimana pendapat golongan lain. Apa yang
dipandang sifat dalam pendapatgolongan, bagi Mu’tazillah tidak lain adalah Zat
Allah sendiri.
Untuk menyucikan keesaan Tuhan, golongan Mu’tazillah menafi’kan
sifat-sifat bagi Tuhan. Dengan cara demikian, golongan Mu’tazilah mengklaim
dirinya sebagai golongan Ahlut tauhid Wal ‘Adil. Allah itu benar-benar
Esa tanpa ditambah apa-apa.Kaum mu’tazilah mencoba menyelesaikan persoalan ini
dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang
Tuhan, sebagaimana dijelaskan
oleh al-asy’ari, bersifat negatif. Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, tidak
mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti
bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan
sebagainya. Tuhan
tetap mengetahui, berkuasa,dan sebagainya, tetapi mengetahui, berkuasa, dan
sebagainya tersebut bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya. Artinya tuhan
mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah tuhan itu sendiri.3
3. Abul Rozak dan Rosihan
Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2006) Hal 168
3
Pandangan
tokoh-tokoh mu’tazilah tentang sifat-sifat Tuhan :
1) An
–Nazhzham menafikan
pengetahuan, kekuasaan, pendengaran,melihat dan qadim dengan dirinya sendiri,
bukan dengan kekuasaan,perkehidupan, penglihatan dan keqadiman. Demikian pula
dengan sifat-sifat Allah yang lain.
An
–Nazhzham mengatakan bahwa jika ditetapkan bahwa Allah itu adalah dzat yang
tahu, berkuasa, hidup, mendengar, melihat, dan qadim yang ditetapkan sebenarnya
adalah dzat-Nya (bukan sifat-Nya).
2) Menurut
Abu al-Huzail esensi pengetahuan Allah adalah Allah sendiri. Demikian pula
kekuasaan, pendengaran, penglihatan, dan kebijaksanaan, dan sifat-sifat yang
lain. Ia berkata aku nyatakan Allah “bersifat” tahu, artinya aku nyatakan bahwa
pada-Nya terdapat pengetahuan dan pengetahuan itu adalah dzat-Nya.
Arti
“Tuhan mengetahui dengan esensinya” kata al-Jubba’i, ialah untuk
mengetahui, Tuhan tidak berhajat kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan
atau keadaan mengetahui. Sebaliknya Abu hasyim berpendapat bahwa arti
“Tuhan mengetahui melalui esensinya”, ialah Tuhan mempunyai keadaan mengetahui4.
b. Asy’ariyah
Kaum
Ay’ariyahberlawanan dengan Mu’tazilah di atas. Mereka dengan tegas mengatakan
bahwa Tuhan mempunyai sifat. Menurut al-Asy’ari sendiri tidak dapat di ingkari
bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatan-perbuatanya, disamping menyatakan
Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa, dan sebagainya juga menyatakan bahwa
Tuhan mempunyai pengetahuan, kemauan, dan daya.
Dan
menurut al- Baghdadi, terdapat konsesus di kalangan kaum asy’ariah bahwa
daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan dan sabda Tuhan
adalah kekal. Sifat –sifat ini kata al- ghazali, tidaklah sama dengan,
malahan lain dari, esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri. Uraian
–uraian ini juga membawa paham banyak yang kekal, dan untuk mengatasinya kaum
Asy’ariah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak pula
lain dari Tuhan. Asy’ari mendasarkan pendapatnya kepada apa yang dilihatnya
pada manusia dan sifatnya. Atau dengan sebutan lain, Asy’ariyah mengharuskan
berlakunya soal-soal kemanusiaan pada Tuhan, atau mengharuskan berlakunya hukum
yang berlaku pada alam lahir dan alam ghaib. Sifat-sifat zat Tuhan semuanya
azali, oleh karenanya tidak mungkin iradah-Nya baru (hadis) seperti yang
dikatakan Muktazilah.
4. Ibid hal 170
4
Asy’ari
mendasarkan pendapatnya kepada apa yang dilihatnya pada manusia dan sifatnya.
Atau dengan sebutan lain, Asy’ariyah mengharuskan berlakunya soal-soal
kemanusiaan pada Tuhan, atau mengharuskan berlakunya hukum yang berlaku pada
alam lahir dan alam ghaib. Sifat-sifat zat Tuhan semuanya azali, oleh karenanya
tidak mungkin iradah-Nya baru (hadis) seperti yang dikatakan Muktazilah.
Golongan Asy’ariyah mempersamakan Tuhan dengan manusia dalam soal sifat
dikarenakan menurut mereka sifat-sifat Tuhan bukanlah zat-Nya, bukan pula lain
dari zat-nya.
Jika diamati lebih cermat, kontradiksi
pernyataan di atas nampak jelas sekali. “bukan zat-Nya” berarti sifat-sifat itu
bukan zat-Nya, akan tetapi “bukan lain dari zat-Nya” berarti sifat-sifat itu
menjadi satu dengan zat-Nya (hakikat zat). Dari pendapat asy’ariyah yang
demikian ini terlihat seolah-olah mereka menerima pandangan Muktazilah, tetapi
sebenarnya tidak demikian, golongan Asy’ariyah tetap menolak pandangan
Muktazilah, sebab mereka memiliki penafsiran terhadap perkataan “bukan lain
zat” dengan mengatakan bahwa sifat-sifat itu tidak bisa lepas dari zat-Nya.5
c. Maturidiyah
Tampaknya paham al-Maturidi tentang
makna sifat Tuhan cenderung mendekati paham Mu’tzilah, perbedannya al-Maturidi
mengakui adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat
tuhan.
Aliran ini
mengatakan bahwa pembicaraan tentang sifat harus didasarkan atas pengakuan
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman azaly, tanpa pemisahan antara
sifat-sifat zat, seperti qadrat dan sifat-sifat yang berhubungan dengan Af’al
seperti menciptakan, menghidupkan dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut menurut
golongan maturidiyah tidak boleh diperbincangkan apakah hakikat zat atau bukan.
Sementara itu Kaum Maturidiyah golongan bukhara, karena juga mempertahankan
kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifa-sifat. Persoalan
banyak yang kekal, mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan
kekal melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga dengan mengatakan bahwa
Tuhan bersama-sama sifat-Nya kekal.
5.
M.Akmal, Tauhid Ilmu Kalam (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000) Hal 146
5
Sedangkan kaum
Maturidiyah golongan Samarkand dalam hal ini kelihatanya tidak sepaham
dengan Mu’tazilah karena al- Matuiridi mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan
tetapi pula tidak lain dari Tuhan.6
Aliran
Maturidiyah mengatakan bahwa pembicaraan tentang sifat harus didasarkan atas
pengakuan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat-Nya sejak zaman azaly, tanpa
pemisahan antara sifat-sifat zat, seperti qadrat dan sifat-sifat yang
berhubungan dengan Af’al seperti menciptakan, menghidupkan dan lain-lain.
Sifat-sifat tersebut menurut golongan Maturidiyah tidak boleh diperbincangkan
apakah hakikat zat atau bukan. Akan tetapi di kemudian hari, aliran ini
membelok ke Asy’ariyah dengan mengatakan bahwa apa yang dimaksud dengan
perkataan “tidak berbeda dari zat” ialah bahwa sifat-sifat itu tetap ada pada
zat dan tidak bisa lepas dari padanya. Tetapi dari pandangannya ini sebenarnya
masih menyisakan persoalan, yaitu jika sifat-sifat itu bukan hakikat zat, tidak
pula berbeda dengan zat, lalu apa sebenarnya sifat-sifat itu? Menanggapi
pertanyaan ini golongan maturidiyah menjawab bahwa “sifat-sifat itu sifat
Tuhan, tidak lebih dari itu”.
Melihat
jawaban yang demikian sebenarnya Maturidiyah belum bisa menyelesaikan
kontradiksi yang sedang berlangsung. Mereka justru membelok kepada golongan
para filosof dan Muktazilah, dengan mengatakan bahwa tidak dapat dipersamakan
antara Tuhan dengan manusia dan sifat Tuhan adalah hakikat zat-Nya. Selain itu
mereka juga bisa membelok ke aliran salaf dengan pengakuan bahwa madzhab itu
lebih selamat, dikarenakan pembahasan sifat Tuhan akan menyeret kita kepada
bid’ah, seperti yang dilakukan oleh kalangan Muktazilah dan Asy’ariyah. Kendati
demikian, sikap Maturidiyah terhadap Muktazilah lebih lunak. Penetapan
sifat-sifat untuk Tuhan, baginya tidak berarti tasybih (menyerupakan) antara
Tuhan dengan manusia, dan mereka (Muktazilah) yang mengingkari sifat-sifat
dengan alasan karena mensucikan Tuhan tidak perlu disebut dan dituduh
Muktazilah, dan tidak pula kafir, meskipun pengingkaran sifat lebih berbahaya
dari pada menetapkannya, sebab bisa menjadikan Tuhan sebagai suatu gambaran
fikiran yang kosong. Dalam membicarakan sifat-sifat Tuhan menurut Maturidy,
harus menggunakan cara tasybih dan tanzil bersama-sama. Sifat-sifat Tuhan itu
qadim dan tidak bisa diterangkan kecuali menggunakan kata-kata yang biasa
dipakai untuk lingkungan manusia, yang berarti mempersamakan
(tasybih).
6. Ibid,
Hal. 149
6
Akan
tetapi dalam pada itu harus dipakai jalan tanzil untuk meniadakan setiap
persamaan antara sifat Tuhan dengan sifat manusia. Karena itu tidak perlu ditanyakan,
bagaimana sifat ilmu dan qodrat Tuhan itu, sebab pertanyaan ini masih
memaksakan adanya persamaan. Prinsip inilah yang menjadi pegangan Ibn Rusyd.7
d. Syiah
Rafidhah
Sebagian
besar tokoh Syiah Rafidhah menolak bahwa Allah senantiasa bersifat tahu, mereka
menilai bahwa pengetahuan itu bersifat baru, tidak qadim, sebagian besar dari
mereka berpendapat bahwa Allah tidak tahu terhadap sesuatu sebelum
kemunculannya.
Makna
Allah berkehendak menurut mereka adalah bahwa Allah mengeluarkan gerakan, ketika
gerakan itu muncul, ia bersifat tahu terhadap sesuatu itu, mereka berpendapat
pula bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap sesuatu yang tidak ada.
Mayoritas
tokoh Rafidhah menyifati tuhannya dengan bada (perubahan) mereka
beranggapan bahwa tuhan mengalami banyak perubahan, sebagian merekamengatakan
bahwa Allah terkadang memerintahkan sesuatu lalu mengubahnya. Terkadang pula ia
menghendaki melakukan sesuatu lalu mengurungkannya karena ada perubahan pada diri-Nya,
perubahan itu bukan arti nasak tetapi dalam arti bahwa pada waktu yang pertama
ia tidak tahu apa yang bakal terjadi pada waktu yang kedua.8
e. Musyabihah
(Karramiyah)
Kaum Musyabbihah
artinya kaum yang menyerupakan. Kaum Musyabbihah digelari kaum Musybih
(menyerupakan) karena mereka menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Mereka
mengatakan bahwa tuhan adalah bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti
manusia.
Kalau
sekiranya kaum muslimin memegangi teguh prinsip tidak adanya persamaan antara
Tuhan dengan makhluknya, tentulah tidak timbul persoalan sifat dan tidak timbul
segolongan muslimin yang memegangi lahir nash-nash ayat atau hadist
mutasyabihat, seperti golongan musyabbihah atau Karramiyah. Dengan demikian
mereka mirip golongan agama-agama lain yang mempercayai Tuhan bertubuh dan
nampak dalam bentuk manusia.
7.
http://www.referensimakalah.com/2012/12/perbedaan
-aliran-mengenai-sifat-tuhan.html(diakses pada tanggal 29 oktober 2017)
8.Abul
Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam(Bandung : CV Pustaka Setia, 2006)
Hal 179
7
Aliran
kepercayaan ini sering disebut dengan aliran antropomorfisme, yakni kepercayaan
bahwa Tuhan bisa mewujud sebagaimana manusia. Aliran ini, dalam merumuskan
pemahamannya hanya menafsirkan ayat-ayat mengenai Zat, Sifat-Sifat Allah dan
perbuatan-Nya hanya berdasarkan makna harfiyahnya saja, sehingga pemahamannya
mempercayai bahwa Allah memiliki jisim, sebagaimana yang pernah diulas pada
pembahasan di atas. Tetapi aliran musyabihah yang memegangi lahiriyah ayat-ayat
tersebut merupakan golongan kecil dalam Islam. Hal ini karena memang pada
awalnya kaum muslimin memiliki pemahaman teologi yang antropomorfis.
Dalam
Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menurut lahirnya berisi persamaan Tuhan dengan
makhluk yang menjadi dasar kepercayaan golongan tersebut, seperti ayat-ayatyang
mengatakanbahwa Tuhan berada dalam suatu arah tertentu, yaitu di atas, di
langit, diArsy, bahkan berpindah-pindah. Ayat-ayat tersebut adalah :
أَأَمِنتُم
مَّن فِي السَّمَاء أَن يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
Artinya “Apakah
kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan
menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu
bergoncang (Q.S Al-Mulk:16)
وَهُوَ
اللّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الأَرْضِ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهرَكُمْ
وَيَعْلَمُ مَا تَكْسِبُونَ
Artinya “Dan
dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; dia mengetahui apa
yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang
kamu usahakan.”( Q.S Al-An’am:3)
وَعُرِضُوا
عَلَى رَبِّكَ صَفّاً لَّقَدْ جِئْتُمُونَا كَمَا خَلَقْنَاكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ
بَلْ زَعَمْتُمْ أَلَّن
نَّجْعَلَ
لَكُم مَّوْعِداً
Artinya “Dan
mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. Sesungguhnya kamu datang
kepada kami, sebagaimana kami menciptakan kamu pada kali yang pertama; bahkan
kamu mengatakan bahwa kami sekali-kali tidak akan menetapkan bagi kamu waktu
(memenuhi) perjanjian.”(Q.S Al-Kahfi:48)
Demikian
pula hadist Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah, berbunyi sebagai berikut
:“Tuhan kita kita turun kelangit dunia setiap malam, pada waktu sepertiga malam
terakhir. Ia berfirman, siapa yang berdoa padaKUakan saya kabulkan. Siapa yang
minta ampun, saya ampuni.”
Selain Q.S
Al- Baqarah, semua ayat-ayat tersebut adalah Makkiah. Tujuan utama surat-surat
tersebut ialah menetapkan asaa-asas kepercayaan agama baru, yaitu Islam,
sesudah menunjukkan salahnya kepercayaan-kepercayaan orang musyrik.
8
Bagaimanapun
juga golongan Musyabbihah yang memegangi lahirnya ayat-ayat merupakan
segolongan kecil. Leon Ghautier mengatakan bahwa semua kaum muslimin pada
permulaan Islam berpaham anthropomorphist. Pendapat tersebut tidak benar, sebab
sebagian besar dari mereka terkenal dengan sebutan nama Salaf dan orang-orang
sesudah mereka tetap memegangi prinsip tidak adanya persamaan antara Tuhan dengan
makhluk.9
3. Perbedaan Pendapat Tentang Keqadiman Allah Swt.
Bagi kaum
teolog Muslim, qadim berarti “sesuatu yang mempunyai wujud tanpa sebab”,
sedangkan bagi kaum filosof Muslim, qadim berarti “sesuatu yang
kejadiannya dalam keadaan terus menerus tanpa awal dan tanpa akhir”.
Bagi kaum
teolog Muslim, hadits mengandung arti “menciptakan dari tiada”,
sedangkan bagi kaum filosof Muslim kata itu berarti “mewujudkan dari ada
menjadi ada dalam bentuk lain”.10
Dalam menisbatkan
Allah Swt Qadim, seluruh aliran dalam ilmu kalam sepakat akan hal demikian. Namun
ada beberapa indikasi pendapat dalam hal keqadiman Allah Swt berkaitan dengan
sifat Qalam-Nya (berbicara Allah Swt) berikut beberapa pendapat
tersebut:
1.Mazhab Hanbali
Pengikut Ahmad bin Hanbal memandang bahwa
kalam Ilahi itu berasal dari suara dan huruf yang ada dalam zat Allah Swt dan
termasuk qadim. Sampai-sampai sebagian dari mereka meyakini secara ekstirm
bahwa jilid dan pembungkus kitab al-Quran itu pun termasuk qadim.
"Pertama bahwa zat Allah itu qadim, dan
kedua adalah bahwa kalam itu sebagai sifat Allah, sifat bagi zat yang qadim
harus juga qadim karena apabila sifat bagi zat qadim itu adalah hadis
(baru-tercipta) maka akan menyebabkan perubahan pada zat qadim tersebut dan
perubahan pada zat Allah adalah mustahil. Oleh karena itu, kalam Ilahi yang
merupakan sifat Allah adalah qadim."
9.
SirajuddinAbbas, ‘Itiqad Ahlusunnah Waljama’ah (Bandung : CV Pustaka
Setia, 2002) Hal 253
10. Sirajuddin
Zar, FILSAFAT ISLAM Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada,2010), hlm.227-228
9
Qadhi 'Adhiduddin mengatakan secara jelas
bahwa akidah Hanbali mengenai hal itu adalah batil. Beliau menulis sebagai
berikut, "kalam adalah sebuah eksistensi gradual yang antara satu huruf
dengan huruf yang lain tercipta saling kebergantungan dan hal itu berarti
hadis, kalam yang tersusun dari peristiwa tersebut maka pasti juga bersifat
baru. Kalam adalah sebuah eksistensi yang berawal dan berakhir, oleh karena itu
ia bersifat baru."
2.Aliran Karamiyah
Aliran Karamiyah meyakini bahwa kalam Ilahi
terdiri dari suara dan huruf-huruf, dan kalam Ilahi itu bersifat hadis dan
menyatu dengan zat Allah Swt, dan mereka mengatakan bahwa tidak ada masalah
menggandengkan sifat hadis pada yang zat yang qadim.
Allamah Hilli mengomentari pendapat Karamiyah
sebagai berikut, "Wajib al-Wujud (Allah Swt) tidak menerima sifat yang
hadis (yang baru) dengan tiga dalil: pertama, ke-hadis-an dan ke-baru-an pada
zat Allah menyebabkan perubahan yang bersifat reaktif dalam diri-Nya dimana hal
ini sangat berkontradiksi dengan zat Wajib al-Wujud, karena setiap perubahan
itu merupakan sifat bagi benda-materi dan Allah bukanlah materi dan benda.
Kedua, jika Allah Swt dipandang sebagai sebab dari sifat yang hadis ini, maka
sifat yang hadis itu pun harus azali, karena sebabnya adalah azali, sementara
anda mengatakan bahwa hadis tersebut adalah sesuatu yang baru terwujud (yakni
pernah tiada dan sekarang menjadi ada), dan jika zat sebab itu bukan zat Wajib
al-Wujud maka kemestiannya adalah dia memiliki sifat hadis dan membutuhkan
kepada sesuatu yang lain, dan hal ini juga tidak layak bagi Wajib al-Wujud.
Ketiga, hadis itu jika termasuk sifat kamaliyah (sifat kesempurnaan) maka
mustahil sifat tersebut tidak termasuk dalam jajaran sifat-sifat Tuhan, karena
Tuhan niscaya memiliki seluruh sifat kesempurnaan dan apabila hadis itu
merupakan sifat cacat dan kekurangan maka mustahil Tuhan memiliki sifat
tersebut.
3.Akidah Asy’ariah
Kaum
Asy’ariah meyakini bahwa kalam itu adalah qadim dan menyatu dengan zat Allah.
Abu al-Hasan al-Asy'ary berkata, "Allah berbicara dengan kalam, dan
kalam-Nya itu bersifat qadim, karena raja memiliki kekuasaan pada rakyat, dan
penguasa senantiasa memerintah dan melarang rakyatnya, maka dia adalah
penguasa. Penguasa apakah memerintahkan sesuatu yang qadim atau memerintahakan
sesuatu yang hadis. Jika hadis maka apakah dia akan menyatu dan eksis pada zat
Allah itu sendiri? Hadis
10
mustahil menyatu dan eksis pada zat Allah karena
akan menyebabkan zat Allah sebagai wadah bagi hadirnya sesuatu yang baru. Dan hal
ini pasti mustahil. Demikian pula, mustahil kalam itu menyatu dan eksis pada
wadah yang lain, karena akan menyebabkan wadah tersebut memiliki sifat kalam
dan akan disebut sebagai mutakkalim. Demikian pula, mustahil eksis pada wadah
selain zat Allah, oleh karena itu kalam Allah itu bersifat qadim dan eksis pada
zat Allah serta menjadi sifat Allah."
Oleh karena itu, dalam
akidah Asy’ariah kalam itu akan terwujud secara berangsur-angsur dan hadis
dalam bentuk ibarat dan lafaz. Ibarat dan lafaz itu tidak menyatu dengan zat
Allah dan tidak bisa dikatakan hakikat kalam Allah, tetapi mereka meyakini
bahwa kalam hakiki Allah adalah makna dari kata-kata yang dilafazkan yang
bersifat qadim dan menyatu serta eksis pada zat Allah Swt.
4. Akidah Imamiah
dan Muktazilah
Imamiah
dan Muktazilah setelah menggugurkan pandangan Asy'ariah, berpendapat bahwa
kalam Ilahi itu adalah hadis dan mereka mengatakan sebagai berikut: "Kalam
Ilahi seperti kalam manusia yang terdiri dari huruf dan suara yang
mengindikasikan sebuah makna khusus. Perbedaannya adalah manusia ketika hendak
mengungkapkan kalam membutuhkan lidah dan mulut serta tempat keluarnya
huruf-huruf, sementara Allah tidak membutuhkan hal tersebut. Oleh karena itu,
kalam memiliki eksistensi gradual dan sistematik yang berarti hadis. Kalam itu
terdapat di tempat lain, tetapi bukan pada zat Allah. Yang dimaksud dengan
Allah sebagai Sang Mutakallim adalah tercipta dan terlahir kalam darinya, bukan
bermakna bahwa kalam itu menyatu dan eksis pada dirinya, hal ini berbeda dengan
suatu sifat seperti mengetahui, kodrat, atau warna hitam dan putih dimana
menyatu dengan zatnya".
Dikatakan, "Allah
menciptakan dan mengadakan suara dan huruf yang memiliki makna dan kemudian
hadir dalam bentuk berita, perintah, larangan, atau pertanyaan. Oleh karena
itu, kalam Ilahi adalah salah satu dari perbuatan Allah dan hadis, seperti
mencipta, memberi rezki, menghidupkan dan mematikan."
Sebagaimana telah ketahui
bahwa Muktazilah dan Imamiah meyakini bahwa kalam Ilahi itu adalah suara dan
huruf-huruf yang memiliki makna yang Allah ciptakan pada suatu tempat, dan
dengan perantaraan inilah Allah menyampaikan maksud dan tujuan-Nya. Kalam Ilahi
memiliki eksistensi gradual dan hadis dalam rentangan zaman dan waktu, dan
maksud dari Allah sebagai Mutakallim adalah Allah menciptakan suara dan
huruf-huruf. Sumber dan asal kalam Allah adalah sifat kodrat dan iradah-Nya
yang tanpa membutuhkan lidah dan mulut.
11
5.Pandangan Mu'ammar bin
Ubbad dan Sebagian Ilmuwan Kristen.
Al-Quran
adalah sesuatu yang aksidental, dan mustahil Allah menciptakan dan menurunkan
al-Quran. Karena menurut mereka, mustahil sesuatu yang aksidental itu terlahir
dari perbuatan Allah. Mereka mengatakan bahwa al-Quran adalah terwujud dari
suatu tempat yang memancarkan kalam itu.
Dalam catatan Rawandi dan
Khayaat tertulis: "Mu’ammar meyakini bahwa al-Quran bukan hasil perbuatan
Allah, dan bukan sifat Tuhan, akan tetapi suatu kejadian yang hadir secara
alamiah dan natural.
Pandangan tersebut juga
diyakini oleh sebagian ilmuwan kristen sebagaimana dikutip, "Dalam naskah
tercatat bahwa wahyu asli adalah Masehi itu sendiri, kalimat Allah dalam bentuk
manusia, kitab suci hanyalah kitab tulisan tangan manusia yang menjadi saksi
atas hakikat wahyu tersebut. Perbuatan Allah dalam eksistensi masehi dan kitab
suci hadir dengan perantaraan masehi, dan kitab suci itu tidak hadir dengan
cara pendiktean langsung dari Allah."
Kesimpulan dari kajian di
atas adalah al-Quran dan seluruh kitab suci samawi bukan ciptaan Tuhan, akan
tetapi hasil perbuatan para nabi dimana Allah menciptakan wujud mereka dalam
kondisi yang istimewa sedemikian sehingga mampu menyampaikan tujuan, iradah,
maksud dan penjelasan Allah Swt.11
12
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Perbedaan pendapat bukanlah pengahalang bagi
kita untuk saling menghargai antar sesama, bahkan bagi kita sangat dianjurkan
untuk selalu menghormati, menyayangi sesama, tapi sangat disayangkan, masih
banyak di antara kita yang masih saja saling salah-menyalahkan, mencaci, dan
hal-hal yang lainnya.
·
Proses seorang manusia untuk menuju ke gerbang
rahmat Allah Swt adalah dengan mempelajari dan mengetahui apa yang layak umtuk
dinisbatkan kepada-Nya dan hal-hal yang tidak pantas untuk di sandarkan
kepada-Nya. Dimana bila sesorang manusia menempuh jalan itu dengan batasan ynag
telah ditentukan oleh Allah Swt, maka Insyaallah,
manusia tersebut akan mendapat tempat yang mulia disisi Allah Swt.
B. Saran dan Kritik
·
Kepada seluruh Mahasiswa, kami harapkan untuk memberika
komentarnya dalam penulisan dan pembahasan dalam makalah ini.
·
Dan kami dari pihak penulis berharap agar
Dosen kami yang terhormat untuk memberikan arahan, dan bimbingannya agar
menjadi ilmu tambahan bagi kami tersendiri.
13
DAFTAR PUSTAKA
·
Nasution,
Harun. 2010. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang
·
Susanto.
2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara
·
Zar,
Sirajuddin. 2010. FILSAFAT ISLAM Filosof dan Filsafatnya. Jakarta:
RajaGrafindo Persada
·
www.alhassanain.com
14